Mengenali Psikologi dan Kisah Niniek L Karim dalam Film “Ibunda” karya Teguh

Spread the love

Waktu terasa berputar mundur selama hari-hari terakhir perlombaan blog komunitas KOMiK untuk peringatan Hari Kartini. Di tengah jeda waktu singkat itu, nama Niniek L Karim menjadi sorotan. Hal ini karena topik yang ditawarkan menginspirasi dirinya, yaitu “Memperingati Jejak Bersejarah Kartini dalam Dunia Sinema Indonesia”.

Saya merupakan seorang penonton bioskop yang acak-acakan. Gerbang favorit saya ke dunia film terbuka oleh sang kakek ketika usia masih muda. Dia sangat menyukai film-film romantis dari Taiwan yang sedang populer waktu itu.

Akan tetapi, berbagi waktu dengan nenek membuatku traumatis terhadap film Sam Pek Eng Tay. Pasalnya, dalam film itu terdapat adegan kematiannya diakhir cerita. Nenek bahkan seringkali memintaku untuk menontonnya berulang kali dengannya!

Pada masa lalu, perlu diketahui bahwa cara pemutaran film di bioskop di Surabaya cukup berlainan dibandingkan sekarang. Bioskop tersebut dikelompokkan menjadi kelas A sampai, tidak pasti ya, bisa jadi D.

Kakek saya mengajakku menyaksikan film drama romantis klasik ini sejak di bioskop bertingkat rendah. Apabila dugaanku waktu itu terpenuhi dan mencapai level D dengan kursi berbahan plastik, maka mari kita kalikan. Berapa kali aku telah melihat film tersebut?

Jawabannya singkatnya adalah tiga kali menonton film yang sama (B-C-D). Akan tetapi, pendekatan matematiKA milik nenekku tidaklah sama. Algoritma emosinya seolah berada di alam semesta lain. Jadi, dengan kabur ingatan, aku meyakini bahwa penayangan keempat itu memicu trauma bagiku.

Mengapa demikian? Sangat sederhana. Setiap harinya, nenek saya selalu melihat koran yang berisi iklan film. Biasanya ada frasa-frosa penuh inspirasi seperti, “Jangan Lewatkan! Tayang Perdana Terakhir!” Hal itu yang meyakinkan saya bahwa kita seringkali pergi ke bioskop kategori D, kadang juga dikenal sebagai bioskop “tipe kambing,” dan biasanya menontonnya hingga dua kali.

Setelah meninggalkan nenek, saya menyaksikan beberapa tayangan acak. Di luar genre romantika, fokus utama saya adalah pada film-film aksi berbahasa Inggris. Meski begitu, itu hanyalah aktivitas menonton biasa bagi saya. Saya tak repot-repot menghabiskan banyak waktu atau belajar tentang industri perfilman, termasuk aspek-aspek seperti aktor dan sineas di balik layar tersebut.

Film Bidadari Ibu Karya Teguh Karyawan: Hadir Niniek L Karim!

Salah satu film awal yang memberikan kesan mendalam saat masih muda, adalah “Ibunda” karya Teguh Karya. Dengan sengaja, saya mencari informasi lebih lanjut tentang film tersebut. Sejak itu, saya mulai mengeksplor karier Teguh Karya dalam industri perfilman serta Teater Populer.

Terdapat pula informasi ekstra yang disertakan bersama rilis film ini, yaitu penampilan perdana seorang Niniek L Karim!

Bintang baru? Cukup biasa, sih.

Dapatkan penghargaan? Apa yang mengejutkan tentang itu.

Tetapi, saat atributnya disebutkan, aku tersadar. Dia adalah seorang dosen di Fakultas Psikologi (UI).

Psikologi?

Saya ingin menjadi seorang psikolog!

Informasi tambahan ini semakin memudahkan saya. Niniek L Karim menampilkan akting luar biasa di Film ‘Ibunda’ serta karyanya-karyanya setelah itu, hal tersebut tidak terlepas dari lamanya pengalamannya di dunia teater. Lagipula, saya juga mengerti bahwa banyak sekali film hasil garapan Teguh Karya yang berasal dari para aktor teater.

Niniek L Karie dan Perjalanan Karirnya

Niniek L Karim berkembang dengan sempurna dalam dua bidang, yaitu di ranah akademis dan peran panggung serta layar lebar. Setelah menyelesaikan jenjang Sarjana Pertama dan melaksanakan tugas sebagai guru, dia pun meneruskan untuk mendapatkan pendidikan lanjutan. Di saat bersamaan, karirnya dalam seni pertunjukan, entah itu berupa drama atau produksi film, telah membuahkan sejumlah pencapaian berupa nominasi dan piala bergengsi.

Ceritanya dimulai dengan penampilannya perdana dalam film “Ibunda” sebagai karakter Farida, yang membawakan dirinya Piala Citra dari FestivalFilm Indonesia (FFI) untuk Kategori Aktor Pembantu PerempuanTerbaik. Setelah itu, dia juga menerima penghargaanAktris Terbaik pada tahun 1990 di Festival FilmAsia-Pasifik berkat karya dalamfilm tersebut.

Setelah tiga tahun, wanita bernama lengkap Sri Rochani Soesetio Karim itu kembali meraih penghargaan tersebut. Ia mendapatkan Piala Citra untuk kedua kalinya lewat film “Pacar Ketingalan Kereta”, yang disutradara oleh Teguh Karya.

Antara berbagai pencalonan dan penghargaan atas keterampilan aktingnya, pasti ada beberapa yang menonjol. Sang guru psikologi sosial tersebut meraih “Penghargaan Karier Seumur Hidup” lewat Indonesian Movie Actors Awards tahun 2023.

Menurut keyakinannya, keahlian yang didapat dari bidang studi akademis yang digelutinya merupakan jalan menuju kesuksessannya dalam dunia peran. Ilmu psikologi, yang mengupas tentang aspek manusia serta tingkah lakunya, sangat sejalan dengan teknik pemeranan yang menuntut pemain untuk membentuk karakter tertentu.

Menurut informasi dari situs web kebudayaan.kemdikbud.go.id, Niniek yang berasal dari keturunan Minang dan lahir di Lombok ini pertama kali mengenal “wayang orang” saat ia berumur enam tahun dan tinggal di Kediri, Jawa Timur. Dia memohon agar disewakan untuk menonton wayang orang sepanjang malam bersama penjaga pribadinya.

Selama perkuliahan, dia telah aktif dalam pertunjukan teater. Oleh karena itu, karirnya di industri film mungkin dimulai lebih awal. Slamet Rahardjo sempat mengajukannya untuk membintangi sebuahfilm dengan peran sebagai gerombolan ketika baru saja menjadi staf pengajaran di UI. Tapi penawaran tersebut langsung ditolaknya.

Niniek Larasati dan Perseteruannya dengan Teguh Karya

Terdapat aspek kehumanian di balik jejak karir Niniek L Karim. Dalam pembacaannya, terlihat seberapa kuat artis tersebut. Dia menceritakan kisah “sederhana” ini kepada Kompas.com mengenai perselisihan serta bagaimana ia meredam konflik dengan sang sutradara ternama namun kasar bernama Teguh Karya.

Dalam sesi pengambilan gambar tersebut, adegan yang diperankannya terus-menerus berlanjut tanpa akhir. Sudah menunjukkan pukul 02:00 di waktu subuh, namun Teguh belum juga merasa cukup dengan hasilnya. Meskipun demikian, keadaan Niniek sudah mulai menggigil karena suhu dingin selama proses memerankan skenario hujan itu.

Niniek merasakan kelelahan, ketidaknyamanan, dan kemarahan. Meski demikian, dia tetap menyelesaikan scene sampai selesai. Baru setelahnya, dia melepaskan perasaannya. Dia memukuli pintu rumah Teguh Karya yang sedang digunakan sebagai tempat syuting pada waktu itu.

Prang! Pintunya retak dan mengenai tangan Niniek sehingga melukainya.

Dia dibawa ke dokter dan mendapatkan jahitan untuk lukanya. Hadiah tambahan dari skenario itu adalah dia terkena bronkitis. Dokter menyarankannya istirahat sebanyak dua bulan. Selama waktu itu, ia tidak bertemu dengan Teguh Karya.

Di kesempatan pertemuan pertama dengan Teguh di tempat syuting, Niniek tetap merasa jengkel. Dia memilih untuk bertingkah acuh terhadap sang direktur film tersebut. Tetapi saat Teguh menghampirinya, keberanian dia luntur. Dia sudah siap menerima teguran keras.

Tiba-tiba saja, Teguh menyerahkan sejumlah uang senilai sepuluh ribu kepada dia. Tetapi, ekspresi Niniek masih terlihat dingin. Kemudian, Teguh pun melambaikan tangannya dan berkata dengan keras, “Ini duit dua puluh ribu sebagai tandanya aku sudah bersikap baik pada Niniek.”

Hatinya Niniek segera meleleh. Dia juga terkikik ketika meresmikan adegan tersebut. ***

_

Rujukan:

– Sri Rochani Soesetio Karim, Menggabungkan Psikologi dengan Dunia Seni Pertunjukkan Teater

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/sri-rochani-soesetio-karim-memadukan-psikologi-dalam-dunia-seni-teater/

– Niniek L Karim dan Teguh Karya Menyelesaikan Perselisihan dengan Harga Rp 20.000

https://entertainment.kompas.com/read/2015/11/23/155913910/Niniek.L.Karim.dan.Teguh.Karya.Berdamai.karena.Rp.20.000

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *