– Kemajuan di bidang teknologi digital secara konsisten mempersembahkan ide segar, termasuk kapabilitas AI untuk merombak gambar reguler menjadi ilustrasi berstilah Ghibli yang populer. Fenomena ini mendadak menimbulkan diskusi tentang apakah alat tersebut mendorong perkembangan dalam ranah seni atau malahan menciderai keunikan estetika asli hasil ciptaan tangan manusia.
Aristarkus Pranayama, seorang dosen dari International Program in Digital Media (IPDM) Universitas Kristen Petra (UKR), berpendapat bahwa fenomena kecerdasan buatan yang dapat menciptakan karya dengan gaya Ghibli hanya merupakan suatu trend sementara.
“Pepasukan orang dengan kelancaran dan hasil luar biasa tersebut hanyalah sementara,” katanya. Menurut Aris, gaya Ghibli mempunyai kekhasan yang sangat dikenal dunia jadi tidak akan cepat hilang akibat perkembangan teknologi modern ini.
Meskipun begitu, perselisihan tentang hak cipta juga muncul seiring dengan meningkatnya populernya teknologi tersebut. Menurut Aris, dari segi hukum, estetika visual tidak bisa didaftarkan paten. Dia menegaskan, “Estetika tidak dapat dimiliki secara paten; akan tetapi, untuk melindungi hak cipta, mutu serta keaslian masih harus diperhatikan.”
Dia juga menyatakan bahwa produksi animasi, terutama proyek besar seperti karya-karya Studio Ghibli, membutuhkan kerja sama tim yang luas. Oleh karena itu, ketakutan tentang pelanggaran hak cipta dianggap tidak begitu penting apabila teknologi AI hanyalah sebagai perantara atau alat bantu saja.
Dalam penerapannya, Aris mengamati bahwa AI bisa berfungsi sebagai asisten yang sangat membantu untuk animators dan ilustrator. Teknologinya sanggup meningkatkan kecepatan dalam proses produksi, khususnya di fase penggarapan storyboard serta ide-ide permulaan.
“Justru, AI dapat berfungsi sebagai sarana untuk meningkatkan efisiensi pekerjaan para animator dan ilustrator. Teknologi tersebut mampu mempercepat tahap-tahap tertentu, misalnya penggarapan storyboard serta penyusunan konsep permulaan, asalkan diimplementasikan dengan tepat sasaran,” ungkapnya.
Di samping itu, Aris mementstakan bahwa AI idealnya harus ditempatkan sebagai sarana pendukung, bukannya substitusi untuk fungsi kreatif manusia. “Harus ada kontrol atas AI, tidak boleh sampai AI yang yang mengendalikan kita,” imbuhnya.
Dia yakin bahwa walaupun teknologi dapat menciptakan tampilan yang menakjubkan, aspek narasi dan perkembangan tokoh masih perlu sentuhan manusia untuk terlihat hidup serta berkesan secara emosi.
Di puncak segalanya, aplikasi kecerdasan buatan (AI) pada ranah seni visual bisa membuka kesempatan luas bagi pencipta untuk meriset konsep-konsep terbaru serta meningkatkan produktivitas mereka. Akan tetapi, Aris mementaskan akan urgensi pemakaian teknologi dengan cara yang cermat dan bertanggung jawab sehingga tak melupakan makna artistik dan moral dalam proses menciptakan. Ia menyatakan, “Sebaunya, teknologi harus mendukung imajinasi, bukan malahan mereduksinya.”
