Ghosting: Seni Atau Hanya Penyebut Keteledoran dalam Hubungan?

Spread the love



– Kau sedang asik-asikan dirimu dalam percakapan dengan orang tertentu. Setiap harinya berbagi cerita, mengirim meme bersama-sama, bahkan bertegur sapa “Selamat tidur” seperti suatu rutinitas yang tak terelakan. Namun secara mendadak, tanpa pemberitahuan apapun, ia menghilang begitu saja dari hidupmu. Tak ada pesan balasan, tidak ada kabarnya juga; segala bukti komunikasi antara kalian tampak sirna layaknya tersambar petir oleh sistem algoritma sosial media. Engkau pun mulai merolos ulang riwayat obrolan tersebut mencari petunjuk atau sekedar penjelasan akan kepergiannya itu. Mengenangkan pikiran tentang pertanyaan ‘Apakah aku melakukan kesalahan?’ tetapi tiada jawaban atas rasa ingin tahunya ini. Inilah pengantar bagi kita pada fenomena dikenal sebagai ghosting.

Phenomenon ghosting sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika hubungan masa kini. Terlebih lagi di tengah revolusi digital saat ini, dimana komunikasi dapat diputuskan cukup dengan menekan tombol muting, memblokir, atau bahkan dengan alasan pura-pura sibuk saja. Hubungan dekat yang dahulu pernah erat, bisa langsung berubah aneh dalam waktu sebentar. Dan hal yang paling menjengkelkan adalah tidak adanya klarifikasi apapun. Tinggal keheningan yang meninggalkan banyak pertanyaan.

Menyegarkan, beberapa individu justru memandang ghosting sebagai sebuah seni. Seolah-olah ini adalah teknik “bergerak seperti bayangan” untuk pergi tanpa menimbulkan ketidaknyamanan. Namun, bagi pihak yang ditinggalkan, hal tersebut serasa seakan dicopot dan dibuang ke lautan lepas tanpa adanya pengapungan diri. Membuat mereka terus-menerus merenungi; apakah ghosting hanyalah cara cerdas dalam mengelakkan perselisihan, atau hanya dalih licik guna melarikan diri dari kewajiban emosi?

Ghosting kerap kali disamarkan dengan frasa “lebih baik pergi diam-diam daripada menimbulkan rasa sakit.” Namun, sebenarnya ketenangan itu malah membawa penderitaan. Saat seseorang mendadak hilang, apa yang tersisa tidak hanya sekadar kesedihan, tetapi juga kebimbangan dan lukisan hati yang tak terucapkan. Tanpa klarifikasi, sulit untuk mengetahui bagaimana mulai melanjutkan hidup setelahnya.

Pada sejumlah situasi, ghosting berlangsung dikarenakan pihak pengejar kurang mengetahui bagaimana mengkomunikasikan emosi mereka secara efektif. Mereka belum siap untuk berkata “sudah tidak serasi”, “saya tak ingin melanjutkannya,” atau “saya butuh kebebasan.” Akan tetapi, hal tersebut bukanlah alasan yang sahih. Menggunakan komunikasi yang transparan, walaupun mungkin membuat tidak nyaman, selalu lebih unggul dibandingkan hilang tanpa kabar dan menciptakan trauma dalam hati orang lain.

Lebih buruk lagi, perilaku ghosting ini sering dilihat sebagai suatu hal yang wajar. Sepertinya kita memiliki hak untuk tiba-tiba hilang tanpa jejak dari kehidupan seseorang hanya karena berpikir “tidak ada kewajiban”. Namun sebenarnya, setiap hubungan yang telah menciptakan emosi, perhatian, dan ikatan pasti membawa beberapa bentuk pertangangan. Tidak perlu menjadi penjamin bagi perasaan pihak lain, tetapi minimal mempunyai nyali untuk menuntaskan apa yang sudah dimulai.

Sebaliknya, ghosting dapat menjadi cerminan dari cara kita menjalin relasi. Mengapa kita dengan gampang lenyap tanpa kabar? Atau mengapa kita kerapkali menjadi target ghosting? Bisa jadi ada pola tak disadari, kemungkinan besar kita terlampau cepat berkomitmen, ataupun mungkin kita telah “menghilangkan diri” saat tidak jujur tentang perasaan kita.

Pada intinyanya, menghilang tidaklah menjadi sebuah keterampilan, suatu taktik, atau apalagi “metode halus” untuk berakhirnya suatu hubungan. Hal tersebut hanya merupakan metode sederhana untuk lari dari rasa canggung. Di belakang segala sesuatunya, apa yang sebenarnya dibutuhkan adalah satu hal: keberanian untuk berkata jujur, meski mungkin akan membuat perasaan tak nyaman. Sebab, tidak ada pukulan yang lebih menyakitkan daripada ditinggalkan tanpa penjelasan.

Jika kalian pernah mengalami ditinggalkan secara tiba-tiba, sadarlah bahwa hal tersebut bukan karena kesalahannya. Hanya saja dia berhadapan dengan seseorang yang belum matang untuk melakukan komunikasi. Sedangkan jika kalian pernah meninggalkan orang lain begitu saja, mungkin ini waktunya mulai mempelajari cara penyelesaian yang benar. Sebab dalam setiap hubungan, sebuah keputusan pengakhiran harusnya lebih disukai dibandingkan lenyap tanpa kabar lagi.

Menghilang: apakah itu cara untuk hindar atau hanya kurang kedewasan emosi? Ketahui alasannya bahwa terkadang kebisuan tak selalu berarti sukses dalam hubungan. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *